Wednesday 19 September 2012

Penyakit Pada Kelamin

GONORRHEA & CHLAMYDIA • Disebabkan oleh bakteri. Infeksi dimulai beberapa hari sampai beberapa minggu setelah hubungan intim dengan orang yang terjangkit penyakit ini • Pada pria, penyakit ini menyebabkan keluarnya cairan dari kemaluan pria. Buang air kecil dapat terasa sakit. Gejala-gejala ini dapat terasa berat atau tidak terasa sama sekali. • Gejala-gejala gonorrhea pada wanita biasanya sangat ringan atau tidak terasa sama sekali, tetapi kalau tidak diobati penyakit ini dapat menjadi parah dan menyebabkan kemandulan • Penyakit ini dapat disembuhkan dengan antibiotik bila ditangani secara dini Gonorhea adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae yang menginfeksi lapisan dalam uretra, leher rahim, rektum, tenggorokan, dan bagian putih mata (konjungtiva). Gonore bisa menyebar melalui aliran darah ke bagian tubuh lainnya, terutama kulit dan persendian. Pada wanita, gonore bisa menjalar ke saluran kelamin dan menginfeksi selaput di dalam pinggul sehingga timbul nyeri pinggul dan gangguan reproduksi. Gejala Pada pria, gejala awal gonore biasanya timbul dalam waktu 2-7 hari setelah terinfeksi. Gejalanya berawal sebagai rasa tidak enak pada uretra dan beberapa jam kemudian diikuti oleh nyeri ketika berkemih serta keluarnya nanah dari penis. Sedangkan pada wanita, gejala awal biasanya timbul dalam waktu 7-21 hari setelah terinfeksi. Penderita seringkali tidak merasakan gejala selama beberapa minggu atau bulan, dan diketahui menderita penyakit tersebut hanya setelah pasangan hubungan seksualnya tertular. Jika timbul gejala, biasanya bersifat ringan. Tetapi beberapa penderita menunjukkan gejala yang berat, seperti desakan untuk berkemih, nyeri ketika berkemih, keluarnya cairan dari vagina, dan demam. Infeksi dapat menyerang leher rahim, rahim, saluran telur, indung telur, uretra, dan rektum serta menyebabkan nyeri pinggul yang dalam ketika berhubungan seksual. Wanita dan pria homoseksual yang melakukan hubungan seks melalui anus (anal sex) dapat menderita gonore pada rektumnya. Penderita akan merasakan tidak nyaman di sekitar anusnya dan dari rektumnya keluar cairan. Daerah di sekitar anus tampak merah dan kasar, serta tinjanya terbungkus oleh lendir dan nanah. Hubungan seksual melalui mulut (oral sex) dengan seorang penderita gonore biasanya akan menyebabkan gonore pada tenggorokan (faringitis gonokokal). Umumnya infeksi tersebut tidak menimbulkan gejala, namun terkadang menyebabkan nyeri tenggorokan dan gangguan untuk menelan. Jika cairan yang terinfeksi mengenai mata, maka bisa menyebabkan terjadinya infeksi mata luar (konjungtivitis gonore). Bayi yang baru lahir juga bisa terinfeksi gonore dari ibunya selama proses persalinan sehingga terjadi pembengkakan pada kedua kelopak matanya dan dari matanya keluar nanah. Jika infeksi itu tidak diobati, maka akan menimbulkan kebutaan. Diagnosis dan pengobatan Diagnosis penyakit gonore didasarkan pada hasil pemeriksaan mikroskopik terhadap nanah, dimana ditemukan bakteri penyebab gonore. Jika pada pemeriksaan mikroskopik tidak ditemukan bakteri, maka dilakukan pembiakan di laboratorium. Gonore biasanya diobati dengan suntikan tunggal seftriakson intramuskuler (melalui otot) atau dengan pemberian antibiotik per-oral (melalui mulut) selama satu minggu (biasanya diberikan doksisiklin). Jika gonore telah menyebar melalui aliran darah, biasanya penderita dirawat di rumah sakit dan mendapatkan antibiotik intravena (melalui pembuluh darah atau infus). Vaginitis Vaginitis adalah diagnosis masalah ginekologis yang paling sering terjadi di pelayanan primer. Pada sekitar 90% dari perempuan yang terkena, kondisi ini disebabkan oleh vaginosis bakterial, kandidiasis atau trikomoniasis vulvovaginal. Vaginitis terjadi ketika flora vagina telah terganggu oleh adanya mikroorganisma patogen atau perubahan lingkunang vagina yang memungkinkan mikroorganisma patogen berkembang biak/berproliferasi. Pemeriksaan untuk vaginitis meliputi penilaian risiko dan pemeriksaan fisik, dengan fokus perhatian pemeriksaan pada adanya dan karakteristik dari discharge vagina. Pemeriksaan laboratorium diantaranya: metode sediaan basah garam fisiologis (Wet Mount) dan KOH, pemeriksaan PH discharge vagina dan "whiff" test. Pengobatan untuk vaginosis bacterial dan trikomoniasis adalah metronidazol, sementara untuk kandidiasis vaginal, pilihan pertama adalah obat anti jamur topikal (Am Fam Physician 2000;62:1095-104.) Vaginitis adalah masalah ginekologis yang paling banyak dihadapi oleh dokter yang memberi pelayanan terhadap perempuan. Pembuatan diagnosis yang akurat bisa sangat sulit, yang menyebabkan upaya pengobatan juga kompleks. Terlebih lai, adanya obat yang dijual bebas menaikkan kemungkinan pemberian pengobatan yang tidak sesuai untuk vaginitis. Epidemiologi Angka prevalensi dan penyebab vaginitis tidak diketahui pasti, sebagian besar karena kondisi-kondisi ini sering didiagnosis sendiri dan diobati sendiri oleh penderita. Selain itu, vaginitis sering tidak menimbulkan gejala (asimptomatis) atau disebabkan oleh lebih dari satu organisme penyebab. Kebanyakan ahli meyakini bahwa sampai sekitar 90% kasus vaginitis disebabkan oleh vaginosis bakterial, kandidiasis vulvovaginal dan trikomoniasis. Penyebab non-infeksi termasuk vaginal atrophy, alergi dan iritasi kimiawi. Penyebab tersering vaginitis adalah bakterial vaginosis, kandidiasis vulvovaginal, trikomoniasis, atropi vaginal, alergi dan iritasi kimiawi. Vaginosis Bakterial Di Amerika Serikat, bakterial vaginosis merupakan penyebab vaginitis yang terbanyak, mencapai sekitar 40 sampai 50% dari kasus pada perempuan usia reproduksi. Infeksi ini disebabkan oleh perkembangbiakan beberapa organisme, termasuk di antaranya Gardnerella vaginalis, Mobiluncus species, Mycoplasma hominis dan Peptostreptococcus species. Menentukan angka prevalensi bakterial vaginosis adalah sulit karena sepertiga sampai dua pertiga kasus pada perempuan yang terkena tidak menunjukkan gejala (asimptomatik). Selain itu, angka prevalensi yang dilaporkan bervariasi menurut populasi. Bakterial vaginosis ditemukan pada 15-19% pasien-pasien rawat inap bagian kandungan, 10-30% ibu hamil dan 24-40% pada klinik kelamin. Walaupun angka prevalensi bakterial vaginosis lebih tinggi pada klinik-klinik kelamin dan pada perempuan yang memiliki pasangan seks lebih dari satu, peran dari penularan secara seksual masih belum jelas. Berbagai penelitian membuktikan bahwa mengobati pasangan dari perempuan yang menderita bakterial vaginosis tidak memberi keuntungan apapun dan bahkan perempuan yang belum seksual aktif juga dapat terkena infeksi ini. Faktor risiko tambahan untuk terjadinya bakterial vaginosis termasuk pemakaian IUD, douching dan kehamilan. Bukti-bukti menunjukkan bahwa bakterial vaginosis adalah faktor risiko untuk terjadinya ketuban pecah dini dan kelahiran prematur. Pengobatan unfeksi ini selama kehamilan menurunkan risiko tersebut. Akibat buruk lain termasuk di antaranya adalah peningkatan frekuensi hasil Papanicolaou (Pap) smears abnormal, penyakit radang panggul (PRP) dan endometritis. Selulitis vaginal, PRP dan endometritis dapat terjadi jika perempuan menjalani prosedur ginekologis yang infasif ketika sedang menderita bakterial vaginosis. Kandidiasis Vulvovaginal Kandidiasis vulvovaginal adalah penyebab vaginitis terbanyak kedua di Amerika Serikat dan yang terbanyak di Eropa. Sekitar 75% dari perempuan pernah mengalami kandidiasis vulvovaginal suatu waktu dalam hidupnya, dan sekitar 5% perempuan mengalami episode rekurensi. Agen penyebab yang tersering (80 sampai 90%) adalah Candida albicans. Saat ini, frekuensi dari spesies non-albicans (misalnya, Candida glabrata) meningkat, mungkin merupakan akibat dari peningkatan penggunaan produk-produk anti jamur yang dijual bebas. Faktor risiko untuk terjadinya kandidiasis vulvovaginal sulit untuk ditentukan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa risiko untuk terinfeksi penyakit ini meningkat pada perempuan yang menggunakan kontrasepsi oral, diaphragma dan spermicide, atau IUD. Faktor risiko yang lain termasuk melakukan hubungan seksual pertama kali ketika umur masih muda, melakukan hubungan seks lebih dari empat kali per bulan dan oral seks. Risiko kandidiasis vulvovaginal juga meningkat pada perempuan dengan diabetes yang sedang hamil atau minum antibiotik. Komplikasi kandidiasis vulvovaginal jarang terjadi. Chorioamnionitis pada saat hamil dan syndrome vestibulitis vulva pernah dilaporkan. Adalah sulit untuk memastikan spesies Candida sebagai penyebab vaginitis karena sekitar 50% perempuan yang tidak mengalami gejala apapun pada vaginanya ditemukan Candida sebagai bagian dari flora endogen vagina. Candida tidak ditularkan secara sexual, dan episode kandidiasis vulvovaginal tidak berhubungan dengan jumlah pasangan seksual yang dimiliki. Mengobati laki-laki pasangan seksual dari seorang perempuan yang menderita kandidiasis tidak perlu dilakukan, kecuali laki-laki tersebut tidak disunat atau ada peradangan pada ujung/glans penis. Kandidiasis vulvovaginal rekuren/berulang didefinisikan sebagai terjadinya empat atau lebih episode kandidiasis vulvovaginal dalam periode satu tahun. Belum jelas apakah rekurensi ini terjadi karena berbagai faktor predisposisi atau presipitasi. Trikomoniasis Protozoa Trichomonas vaginalis, sebuah organisme yang motile dengan 4 flagella, adalah penyebab ke tiga terbanyak dari vaginitis. Penyakit ini mengenai 180 juta perempuan di seluruh dunia dan merupakan 10 sampai 25% dari infeksi vagina. Saat ini, angka insidensi vaginitis trichomonal terus meningkat di kebanyakan negara-negara industri. Trichomonas vaginalis menular melalui hubungan seksual dan ditemukan pada 30 sampai 80 persen laki-laki pasangan seksual dari perempuan yang terinfeksi. Trikomoniasis berhubungan dan mungkin berperan sebagai vektor untuk penyakit kelamin lain. Berbagai penelitian membuktikan bahwa penyakit ini meningkatkan angka penularan HIV. Faktir risiko untuk trikomoniasis termasuk penggunaan IUD, merokok dan pasangan seksual lebih dari satu. Sekitar 20%-50% dari perempuan dengan trichomoniasis tidak mengalami gejala apapaun. Trikomoniasis mungkin berhubungan dengan ketuban pecah dini dan kelahiran prematur. Pasangan seksual harus diobati dan diberi instruksi untuk tidak melakukan hubungan seksual sampai ke dua pihak sembuh. Patofisiologi Gambaran fisiologis discharge vagina normal terdiri dari sekresi vaginal, sel-sel exfoliated dan mukosa serviks. Frekunsi discharge vagina bervariasi berdasar umur, siklus menstruasi dan penggunaan kontrasepsi oral. Lingkungan vagina normal digambarkan oleh adanya hubungan dinamis antara Lactobacillus acidophilus dan flora endogen lain, estrogen, glikogen, pH vagina dan produk metabolisme flora dan organisme patogen. L. acidophilus memproduksi hydrogen peroxide (H2O2), yang bersifat toksik terhadap organisme patogen dan menjaga pH vagina sehat antara 3.8 dan 4.2. Vaginitis muncul karena flora vagina diganggu oleh adanya organisme patogen atau lingkungan vagina berubah sehingga memungkinkan organisme patogen berkembang biak. Antibiotik, kontrasepsi, hubungan seksual, douching, stress dan hormon dapat mengubah lingkungan vagina dan memungkinkan organisme patogen tumbuh. Pada vaginosis bakterial, dipercayai bahwa beberapa kejadian yang provokatif menurunkan jumlah hydrogen peroxide yang diproduksi L. acidophilus organisms. Hasil dari perubahan pH yang terjadi memungkinkan perkembangbiakan berbagai organisme yang biasanya ditekan pertumbuhannya seperti G. vaginalis, M. hominis dan Mobiluncus species. Organisme tersebut memproduksi berbagai produk metabolik seperti ‘amine’, yang akan meningkatkan pH vagina dan menyebabkan exfoliasi sel epitel vagina. Amine inilah yang menyebabkan adanya bau yang tidak enak pada infeksi vaginosis bakterial. Dengan fisiologi yang sama, perubahan lingkungan vagina, seperti peningkatan produksi glikogen pada saat kehamilan dan tingkat progesterone karena kontrasepsi oral, memperkuat penempelan C. albicans ke sel epitel vagina dan memfasilitasi pertumbuhan jamur. Perubahan-perubahan ini dapat mentransformasi kondisi kolonisasi organisme yang asimptomatik menjadi infeksi yang simptomatik. Pada pasien dengan trikomoniasis, perubahan tingkat estrogen dan progesterone, sebagaimana juga peningkatan pH vagina dan tingkat glikogen, dapat memperkuat pertumbuhan dan virulensi T. vaginalis.

0 comments:

Post a Comment